Assalamualaikum wr wb. Islam tegas mengharamkan riba. Tapi kira-kira apa hikmah di balik pelarangan riba itu?. Terima kasih.
Muhsin, Jakarta Selatan.
Wa’alaikumsalam warahmatulahi wabarakatuh
Pengharaman riba, sebagaimana pengharaman khamr, dilakukan secara bertahap. Dimulai dari QS. Ar-Rum 29, kemudian QS. An-Nisa 159, dilanjutkan dengan QS. An-Nisa 45 dan tahap terakhir adalah pengharaman riba secara keseluruhan (kulliy) melalui QS. Al-Baqarah 278.
Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi menyebutkan, jika Islam memperketat urusan riba dan memperkeras keharamannya, sesunguhnya ia bermaksud memelihara kemaslahatan manusia baik mengenai akhlak, hubungan sosial, maupun ekonominya.
Para ulama Islam menyebutkan beberapa alasan rasional mengenai hikmah diharamkannya riba. Penjelasan ini kemudian diperkuat oleh kajian-kajian kontemporer. Imam ar-Razi, misalnya, di dalam tafsirnya menjelaskan sebagai berikut:
Pertama: bahwa riba adalah mengambil harta orang lain tanpa imbalan, karena orang yang menjual satu dirham dengan dua dirham berarti dia mendapatkan tambahan satu dirham tanpa ada imbalan apa-apa. Sedang harta seseorang merupakan standard hidupnya yang memiliki kehormatan besar, sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Kehormatan harta seseorang seperti kehormatan darahnya.” Oleh karena itu mengambil harta orang lain tanpa imbalan sudah pasti haram.
Kedua: bahwa bergantung kepada riba akan menghalangi orang dari melakukan usaha, karena apabila pemilik uang sudah dapat menambah hartanya dengan melakukan transaksi riba, baik tambahan itu dilakukan secara kontan maupun berjangka, maka dia akan meremhkan persoalan mencari peghidupan, sehingga nyaris dia tidak mau menangung risiko berusaha, berdagang, dan pekerjaan-pekarjaan yang berat. Hal ini akan mengakibatkan terputusnya kemanfaatan bagi masyarakat. Dan sudah dimaklumi bahwa kemaslahatan dunia tidak akan dapat diwujudkan kecuali dengan adanya perdagangan, keterampilan, perusahaan, dan pembangunan. (Tidak diragukan lagi bahwa hikmah ini pasti dapat diterima dari pandangan perekonomian)
Ketiga: bahwa riba akan menyebabkan terputusnya kebaikan antar-masyarakat dalam bidang pinjam meminjam. Karena apabila riba diharamkan maka hati akan merasa rela meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya juga satu dirham. Sedangkan jika riba dihalalkan, maka kebutuhan orang yang terdesak akan mendorongnya untuk mendapatkan uang satu dirham dengan pengembalian dua dirham. Hal demikian ini sudah barang tentu akan menyebabkan terputusnya perasaan belas kasihan, kebaikan, dan kebajikan. (Alasan ini tentu dapat diterima dari segi akhlak)
Keempat: Pada umumnya orang yang memberikan pinjaman adalah orang kaya, sedang yang meminjam adalah orang miskin. Pendapat yang memperbolehkan riba berarti memberikan jalan bagi orang kaya untuk memungut tambahan harta dari orang miskin yang lemah. Padahal tindakan yang demikian itu tidak diperbolehkan menurut asas kasih sayang Yang Maha Penyayang. (Ini ditinjau dari segi sosial)
Ini semua dapat diartikan bahwa di dalam riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah untuk kepentingan orang yang kuat. Akibatnya yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin. Hal ini akan mengarah kepada tindakan membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain yang pada gilirannya akan menciptakan kedengkian dan sakit hati, akan menyulut api permusuhan antara sebagian masyarakat terhadap sebagian yang lain, bahkan dapat menimbulkan pemberontakan.
Senada dengan pandangan di atas, Syaikh Muhammad Ali As-Shabuni dalam kitabRawaiul Bayan Fi Tafsiiril Ayatil Ahkami Minal Qur’an, menjelaskan bahaya riba terhadap jiwa (individu), masyarakat dan perekonomian.
Bahaya riba terhadap individu. Riba dapat menumbuhkan perasaan egois, sehingga dia tidak kenal melainkan terhadap dirinya sendiri, dan dia tidak mau memperhatikan, kecuali demi kemaslahatan dirinya sendiri. Oleh karena itu riba itu dapat menghilangkan jiwa pengorbanan dan mengutamakan orang lain. Riba juga dapat menghilangkan perasaan cinta kebajikan dan perasaan sosial, digantinya dengan cinta diri sendiri. Hubungan persaudaraan kemanusiaan menjadi kabur, sehingga seorang rentenir menjadi manusia yang galak dan buas. Bukan hanya itu, bahkan perasaan kemanusiaan dapat diganti dengan perasaan loba dan tamak.
Bahaya riba terhadap masyarakat. Riba dapat melahirkan permusuhan di kalangan anggota masyarakat dan memutuskan ikatan kemanusiaan, menghancurkan seluruh bentuk kasih sayang, persaudaraan dan perbuatan-perbuatan bajik dalam diri manusia, bahkan bisa menaburkan benih-benih hasad dan kebencian dalam hati manusia, memporak-porandakan rasa cinta dan persaudaraan. Seorang rentenir menjadi musuh masyarakat, musuh negara, bahkan musuh umat manusia. Karena itu penghisap darah manusia dengan jalan mendominasi seluruh kebutuhan karena keterpaksaan mereka.
Bahaya riba terhadap perekonomian. Dari sisi ekonomi, riba ini jelas membagi-bagi manusia dalam dua tingkatan: tingkatan elite yang bergelimang dalam kenikmatan dan kemewahan serta bersenang dengan keringat orang lain; dan tingkatan miskin yang hidup dengan kepapaan serba kekurangan. Dari situlah kemudian terjadilah pertentangan kelas. Riba merupakan cara bekerja untuk mencari kekayaan yang paling buruk, dimana kekayaan hanya akan bertumpuk dan berputar di tangan-tangan orang tertentu saja. Inilah pangkal terjadinya bala’, yang selanjutnya menjadi bencana dan huru hara. Wallahu a’lam bissawab.
Sumber | republished by
(YM) Yes Muslim !